Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sebuah Wadah untuk Melestarikan & Memahami Kebudayaan Nusantara

ARSITEKA | Produsen Maket Diorama

Jl. Melati 2 Blok A7/8 Bukit Cengkeh Berbunga Sukmajaya, Depok
08121-3301-464
Kebudayaan Nusantara merupakan indikasi kualitas peradaban manusia Indonesia. Di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang dihimpum dengan olah rasa disertai kemapanan batin dan nafsu yang terkendali. Proses terbentuknya melalui perjalanan waktu yang panjang dan lama, menghadapi berbagai macam peristiwa yang kompleks, dan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Tujuannya adalah terbentuknya hidup-berkehidupan yang laras, lurus dan seimbang dengan seluruh unsur lingkungan hidupnya. Orientasi nilai-nilai kebudayaan ini, menurut Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2000), ditentukan oleh lima masalah dasar di dalam kehidupan manusia, yaitu : hakekat hidup, hakekat karya, persepsi manusia tentang waktu, pandangan manusia terhadap alam, dan hakekat manusia dengan sesamanya.

Kebudayaan bukan merupakan terminologi yang sempit. selama ini dunia ilmu sosial Indonesia didominasi dengan pengertian kebudayaan yang terlampau sempit. Bahwa kebudayaan adalah tarian, kesenian, ataupun pameran lukisan. Jadi kebudayaan disini bukan hanya kesenian dan bukan hanya adat istiadat. Kebudayaan adalah menyangkut peradaban manusia dengan nilai-nilai luhur yang menyertainya, yang bisa dilihat dalam berbagai warisan dan peninggalan sejarah maupun prasejarah.

“Sungguh Allah telah mewariskan Bumi dan Muhammad pada kami dari barat-timur, dan dihimpunkan-Nya kepadaku merah-putih”(H.R. Muslim). Seiring dengan Hadist tersebut menunjukkan bahwa Nusantara adalah perwujudan ‘ruang’ hidup dan berkehidupan dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan rahmat mewujud-nyatanya ‘surga’ bagi umat manusia. Dengan Indonesia sebagai pusatnya, terbukti himpunan kekayaan alamnya yang sangat besar, yaitu sebagai negara kepulauan terbesar dengan pantai terpanjang, memiliki 400 macam bahasa (belum termasuk dialek-dialeknya), memiliki kekayaan flora dan fauna kedua terbesar setelah Brasil, dan komposisi luas tanah-air yang sama seperti sunatullah pada komposisi tubuh manusia, yaitu 70% air dan 30% zat padat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Nusantara adalah rahmat yang besar di dunia ini, maka berarti bahwa tanah-air tersebut merupakan dzat ketenagaan hidup yang serba laras-lurus antara lingkungan alam (bumi) dan manusianya. Hubungan antara bumi dan manusia yang terpadu, setimbang, dan dinamis merupakan azas tetap penumbuh-kembangan daya-potensi manusia dan lingkungannya.

Dengan bentuk negara kepulauan, cuaca dan keadaan geografis yang bervariasi, menyebabkan tumbuh pula beragam kantong-kantong budaya. Kebudayaan suku-suku bangsa yang begitu banyak ada di Indonesia patutlah dipahami dengan sebaik-baiknya, dikaji sedalam-dalamnya, pada awalnya demi pengenalan diri. M. Junus Melalatoa telah melakukan upaya rintisan dengan menyusun buku Ensiklopedi Suku-Suku Bangsa di Indonesia (1995). Informasi yang termuat dalam buku tersebut setidak-tidaknya dapat menyadarkan kita masing-masing bahwa keanekaragaman warisan budaya itu memang benar-benar nyata ada di dalam tubuh bangsa Indonesia. Dalam kehidupan sehari-hari kita sebenarnya sering lupa akan ke-bhinneka-an itu, sehingga akan bisa saja terkejut bila tiba-tiba adat-istiadat suku bangsa sendiri ternyata dapat disalah-pahamkan oleh sesama warga negara yang berasal dari suku bangsa lain. Belum lagi kita masih harus menyadari bahwa di dalam satu suku bangsa pun ada yang terdapat beberapa sub-suku bangsa lagi, yang satu sama lain menunjukkan berbedaan variasi adat-istiadat. Bangsa ini perlu senantiasa menumbuhkan sikap saling mengenal antar suku bangsa, dalam upaya memperkuat persatuan. Sikap saling mengenal yang dilandasi apresiasi pada dasarnya merupakan modal untuk menghadirkan apa yang disebut ‘budaya perdamaian dan toleransi’.

Kebudayaan adalah suatu sistem yang utuh yang merupakan penanda dari suatu bangsa yang membentuk masyarakat dalam berbagai skala. Di dalam tubuh bangsa Indonesia hidup berbagai kebudayaan suku bangsa yang mempunyai sejarah perkembangannya masing-masing. Ada yang didukung oleh masyarakat skala kecil seperti pada beberapa suku bangsa kelana, ada pula yang telah mengalami proses membentuk negara dengan cakupan penduduk dan wilayah skala madya, dan ada pula yang mempunyai pengalaman bernegara sampai pada bentuk imperium. Sudah tentu apa yang telah menjadi bagian dari sejarah yang telah silam itu tidak sepatutnya dijadikan isu gugatan dalam menyimak perbedaan-perbedaan budaya yang ada di masa kini di dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kesadaran sejarah dan pemahaman budaya amat penting untuk ditumbuhkan di dalam diri seluruh warga negara Indonesia, agar warisan masa silam dapat disikapi dengan arif dan masa depan dapat dirancang dengan jiwa besar. Baik kesombongan maupun kekerdilan jiwa tidak akan memberikan sumbangan positif apapun bagi pembangunan bangsa.

Menurut Sedyawati (2000), unsur budaya yang paling lembut dan paling menentukan jatidiri suatu suku bangsa adalah tata nilai, pandangan dunia, serta bahasa sebagai media konseptualisasi dan ekspresi. Ketiga hal itu saling bertaut dengan amat eratnya. Pandangan dunia meliputi pandangan mengenai kosmos, yang bentuk mediumnya adalah alam sekitar. Maka, apabila terjadi perubahan dalam alam lingkungan tempat hidupnya, yang terpengaruh bukan hanya tubuhnya yang harus mengadakan penyesuaian, melainkan juga alam batinnya. Dengan berubahnya alam lingkungan, apalagi jika lingkungan lama sama sekali hilang, maka suku bangsa itupun akan mudah sekali kehilangan acuan-acuan simbolismenya. Apalagi jika bahasanya pun surut dalam penggunaan, atau bahkan hapus sama sekali, maka khasanah konseptual yang dikandungnya pun menjadi sirna. Maka suku bangsa itupun akan kehilangan akar budayanya (jatidirinya).

Sebagai warga negara Indonesia kiranya sangat diperlukan derajat minimal kesadaran rasa berbudaya, yang bisa dipusatkan pada tiga hal, yaitu :
  1. Pengetahuan bahwa di Indonesia terdapat banyak suku bangsa yang telah terbentuk dalam perjalanan panjang sejarahnya masing-masing;
  2. Pengetahuan bahwa sejak masa prasejarah pun telah terjadi interaksi antarbangsa dan antarwilayah;
  3. Kesadaran bahwa kita bersama sedang mengasuh suatu dialog terus-menerus antara kebangsaan (ke-nasionalan) dan kesukubangsaan.
Hubungan-hubungan antarbangsa di masa lalu itu masih terlalu tidak dikenal oleh kebanyakan orang. Oleh karena kesenjangan pengetahuan itulah tumbuh persepsi yang keliru, yaitu seolah-olah persatuan bangsa Indonesia-lah yang ‘tiba-tiba’ memaksa suku-suku bangsa untuk berinteraksi dan bersatu. Hubungan-hubungan di masa lalu itu memanglah tidak selalu berupa hubungan yang netral-netral saja. Ada kalanya tujuan-tujuan politik mengarahkan kepada hubungan-hubungan persekutuan ataupun perseteruan, yang tidak jarang ditopang oleh kekuatan-kekuatan fisik. Adapun tujuan-tujuan ekonomik yang murni pada umumnya membawa bangsa-bangsa untuk berinteraksi dengan cara damai. Itu yang terjadi dengan masyarakat-masyarakat tradisi. Interaksi itu berbeda situasi dan kaidahnya dengan yang terdapat pada apa yang dikatakan ‘masyarakat global’ yang berkembang dewasa ini, yang diwarnai oleh upaya-upaya dominasi.

Hubungan-hubungan antarbangsa di masa lalu itupun tidak hanya terbatas dalam lingkup wilayah yang kini wilayah Indonesia saja, melainkan sampai ke berbagai tempat di Asia daratan, Pasifik, dan bahkan Australia. Prestasi-prestasi jelajah dan organisasi di masa lalu itu banyak yang telah ditenggelamkan oleh penguasa kolonial. Masing-masing suku bangsa dibuat menjadi tergantung pada penguasa kolonial, dan dipisahkan satu dari lainnya. Kemandirian-kemandirian di masa pra-kolonial itulah yang perlu dikenali lagi untuk dijadikan pelajaran serta sebagai titik tolak bagi pengambilan peran baru yang aktif, baik dalam interaksi antarsuku bangsa maupun dalam menghadapi tantangan nasional dewasa ini.

Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian dalam upaya pembangunan bangsa adalah kenyataan bahwa batas-batas jelajah atau penghunian suku-suku bangsa kita ini senantiasa berubah. Hal ini disebabkan oleh mobilitas penduduk, yang terjadi secara naluriah maupun yang terjadi karena adanya program-program terencana dari Pemerintah seperti khususnya transmigrasi, pengadaan jalan raya, ataupun pemukiman “komunitas adat terpencil”. Ini berarti bahwa identitas suatu suku bangsa tidak lagi dapat dikaitkan secara mutlak dengan lokalitas yang terbatas seperti yang dahulu kala mungkin pernah menjadi batas jelajahnya.

Sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan tidak akan dan tidak pernah statis. Namun demikian, kadar kedinamisan tersebut akan berbeda di antara suatu anggota masyarakat dengan yang lainnya. Kebudayaan di dalam lingkungan masyarakat tradisional dan di daerah pedesaan, tampaknya relatif sangat kurang dinamis dibandingkan dengan kebudayaan masyarakat transisional dan yang bermukim di daerah perkotaan. Kenyataan itulah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat tersebut diistilahkan sebagai kebudayaan statis, walaupun sesungguhnya kebudayaan masyarakat tersebut juga mengalami perubahan yang relatif kecil. Kebudayaan selalu dan akan senantiasa bergerak dinamis sesuai dengan perkembangan manusianya. Kebudayaan akan mengalami pergeseran-pergeseran, baik di dalam norma-normanya ataupun gagasan-gagasannya maupun di dalam karya-karyanya dan hasil karyanya.

Kebudayaan tidak pernah terlepas dari perkembangan anak manusia. Kebudayaan adalah bagian dari hidup berkehidupan (pandangan-pandangan hidup dan sikap hidup, cara hidup, dan hasil-hasil kehidupan manusia). Hidup berkehidupan akan berkembang dan bergeser sesuai dengan perkembangan dan pergeseran-pergeseran dari seluruh aspek dan nilai di dalam kehidupan manusia. Kembali harus disadari bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis dan kaku. Kebudayaan selalu dan akan selalu berubah, ini adalah realitanya.

Gejala-gejala perubahan suatu kebudayaan, ternyata akan menjadi sangat dominan pada masyarakat yang semakin terbuka terhadap pengaruh-pengaruh dari luarnya. Pengaruh yang sangat terasa pada lapisan golongan masyarakat yang bermukim di kota-kota besar, karena lapisan golongan inilah yang mempunyai peluang lebih besar untuk berinteraksi dan berinterelasi dengan golongan masyarakat lainnya.

Menurut Cohen dalam Tanudjaja (1991), sesungguhnya, perubahan-perubahan kebudayaan pada suatu masyarakat tertentu sangat dipengaruhi oleh komunikasi antara masyarakat tersebut dengan masyarakat lainnya, dan tingkat komunikasi ini banyak ditentukan oleh tingkat teknologi yang dimiliki oleh setiap masyarakat tersebut. Bisa jadi, teknologi ini merupakan penyebab utama terjadinya perubahan-perubahan sosial budaya. Perkembangan dan perubahan pesat di bidang teknologi pada umumnya akan menggerakkan perubahan-perubahan budaya. Kemajuan teknologi akan mendorong perkembangan komunikasi. Pertukaran informasi melalui komunikasi ini akan menjadi variasi-variasi yang dapat menjadi milik bersama dari suatu masyarakat, yang pada akhirnya dapat menghasilkan pergeseran-pergeseran kebudayaan; entah dengan bentuk akulturasi atau perkawinan antar budaya ataupun di dalam bentuk budaya ‘baru’.

Namun demikian, tanpa adanya pengaruh dari luar pun suatu kebudayaan pasti akan mengalami perubahan seiring dengan berjalannya waktu. Kebudayaan dapat terbentuk dari variasi-variasi dalam cara berlaku para individunya yang menjadi milik bersama. Variasi-variasi ini dimunculkan dari kebebasan individu, dan kebebasan individu tersebut akan selalu terdapat di dalam setiap kebudayaan. Kebebasan-kebebasan individu inilah yang dapat memungkinkan adanya perubahan kebudayaan. Selanjutnya, perubahan-perubahan lingkungan fisik pun dapat menjadi suatu pembangkit gejala perubahan kebudayaan, tanpa harus didorong oleh pengaruh budaya luar. Dengan demikian, kebudayaan dapat mengalami perubahan atau pergeseran walaupun tanpa dipengaruhi oleh budaya luar. Di dalam masyarakat yang masih menganggap bahwa kebudayaannya sendiri adalah yang terbaik (etnosentrisme) dan menolak mentah-mentah unsur budaya luar pun tetap akan dapat terjadi pergeseran-pergeseran ataupun perubahan-perubahan kebudayaan.

Pada akhirnya Peursen (1976), membagi tahapan kebudayaan menjadi tiga tahapan : Mitis, Ontologis, Fungsional. Pembagian tersebut dilandasi oleh perbedaan sifat dari setiap tahapan kebudayaan itu sendiri, dan tidak mencerminkan adanya jenjang keunggulan dari suatu tahapan kebudayaan terhadap kebudayaan. Masing-masing tahapan kebudayaan tersebut mempunyai perbedaan sifat dan ciri di dalam orientasi nilai budayanya. Setiap tahapan kebudayaan tidaklah lebih unggul daripada tahapan lainnya. Kebudayaan yang hadir belakangan tidak lebih unggul daripada tahapan sebelumnya, demikian pula sebaliknya.

Di dalam tahap mitis, manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib di sekitarnya, yaitu kekuasaan dewa-dewa alam raya dan kekuasaan kesuburan, seperti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakan bangsa-bangsa primitif. Di dalam tahap mitis ini, terdapat kemungkinan akan munculnya segi-segi negatif, yaitu praktek magi; suatu usaha manusia untuk menguasai manusia yang lain atau proses-proses alam melalui ilmu-ilmu sihir. Alam pemikiran seperti ini, tampaknya agak sesuai dengan alam pemikiran dari masyarakat di wilayah pedesaan yang tradisional. Masyarakat di wilayah pedesaan yang tradisional cenderung merasa dirinya tergantung terhadap lingkungannya. Kekuatan-kekuatan alam atau lingkungannya seringkali dihubung-hubungkannya dengan kekuatan-kekuatan gaib yang berada di sekitarnya. Bencana alam misalnya, dimaknakan sebagai manifestasi kemarahan dari kekuatan-kekuatan gaib yang ‘supra natural’ atau kemarahan dewa-dewa. Walaupun alam pemikiran mitis ini tidak lagi bersifat sangat kaku dan dogmatis di dalam alam pemikiran masyarakat ‘tradisional’ di wilayah pedesaan pada masa kini, namun aspek-aspek dari alam pemikiran ini masih terasa cukup berakar kuat. Pada akhirnya, ternyata keyakinan-keyakinan tersebut justeru mengakibatkan perwujudan perilaku menjadi lebih santun terhadap lingkungan sekitar.

Ontologis adalah sikap manusia yang tidak lagi hidup di dalam kepungan kekuasaan mitis, melainkan secara bebas, manusia ingin meneliti segala sesuatu yang dulu dirasakan sebagai kepungan. Manusia mulai menyusun suatu ajaran atau teori mengenai dasar hakekat segala sesuatu (ontologi) dan mengenai sesuatu menurut rinciannya (ilmu-ilmu). Alam pemikiran di dalam tahap ontologis ini mengandung kemungkinan munculnya segi-segi negatif. Substansialisme, akan dapat muncul di dalam alam pemikiran ontologis. Substansialisme menunjukkan unsur negatifnya, yaitu suatu usaha menjadikan manusia dan nilai-nilai itu menjadi semacam benda, barang-barang atau substansi-substansi yang terpilah-pilah, yang satu terlepas dari yang lainnya. alam pemikiran ontologis ini, tampaknya sesuai dengan alam pemikiran dari masyarakat transisional yang bermukim di wilayah perkotaan/pedesaan. Masyarakat transisional mulai mencoba mengambil jarak terhadap lingkungannya; lingkungannya dijadikannya sebagai suatu obyek. Selanjutnya, alam pimikiran ini menghasilkan perilaku dengan sosok yang angkuh, yang lepas dari lingkungannya.

Di dalam tahap fungsional, sikap dan alam pikiran manusianya tidak lagi terpesona oleh lingkungannya, sebagaimana di dalam sikap mitis; tidak lagi dengan kepala dingin mengambil jarak terhadap obyek penyelidikannya, sebagaimana di dalam sikap ontologis. Manusia di dalam tahap fungsional mulai mengadakan relasi-relasi baru, suatu ketertautan yang baru terhadap segala sesuatu di dalam lingkungannya. Namun demikian, tahap fungsional pun mampu menjerumuskan ke dalam segi-segi negatifnya : manusia dijadikan ‘sekrup’ di dalam sebuah mesin raksasa dan menjadi operasionalisme. Alam pemikiran seperti ini, tampaknya akan menjadi kecenderungan di dalam alam pemikiran masyarakat pada masa-masa mendatang. Tampaknya, pada masa-masa mendatang akan muncul sikap untuk mengupayakan perwujudan perilaku yang lebih berorientasikan dan berkaitan dengan lingkungannya. Namun demikian, gejala-gejala segi negatif dari alam pemikiran ini, telah mulai tampak dari dalam alam pemikiran masyarakat ‘modern’ yang bermukim di kota-kota besar. Perilakunya menjadi lebih mirip robot yang tidak memanusia lagi. Tampaknya, segi-segi negatif ini dapat mengakibatkan orientasi nilai di dalam alam pemikiran fungsional ini akan tercampakkan kembali ke arah pengrusakan-pengrusakan lingkungan.

Pada masa sekarang ini, sedang terjadi dehumanisasi atau penurunan kualitas peradabannya. Mereka yang menjadi korban dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada nilai-nilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan (estetika) dan apalagi kesucian. Mereka hanya peka dan menghargai nilai-nilai dasar, seperti materi (pemilikan kekayaan), hedonisme (kenikmatan jasmani) dan gengsi (prestise). Tiga nilai inilah, yaitu materialisme-hedonisme-prestise, yang menjadi dasar dari tata nilai sebagian besar dari masyarakat Indonesia dewasa ini. Dan karena tidak disantun oleh nilai-nilai yang lebih tinggi, khususnya nilai kebaikan (etika, moral) dan kesucian (agama), maka di dalam mendapatkan nilai-nilai dasar itu mereka bisa jadi melupakan atau tidak sadar bahwa nilai-nilai yang diambilnya itu adalah ‘salah’. Hal ini bisa jadi merupakan akibat dari pergeseran lingkungan sosial budaya dan lingkungan pendidikannya yang memberikan dampak yang tidak seimbang kepada kepribadian masyarakat Indonesia. Dampak itu tidak terhindarkan jika diingat, bahwa anak-anak didik Indonesia di masa ini terlalu sedikit mendapat pendidikan kebudayaan. Dalam kurikulum, Sejarah, Bahasa dan Sastra, Seni dan Filsafat (di Perguruan Tinggi) hanya menjadi mata ajaran yang terpinggirkan. Bahasa menjadi pengetahuan tentang bahasa dan bukan penguasaan bahasa; Seni dijadikan embel-embel dan bukan bagian hayati (vital) dari kehidupan; sementara Filsafat dianggap urusan orang-orang aneh yang tidak punya pekerjaan yang lebih produktif. Dampak seperti ini jelas akan mendistorsi ‘wajah’ kebudayaan manusia Indonesia.

H.G. Wells dalam Saini (Pikiran Rakyat, 2002), menyatakan bahwa ‘Sejarah dapat dibaca sebagai pergulatan antara pendidikan dan malapetaka. Kalau pendidikan kalah, malapetakalah yang akan menimpa’. Pernyataan itu kiranya terbukti di Indonesia. Tiga dasawarsa pendidikan kita keliru arah, dan kini bangsa Indonesia berada dalam keterpurukan dan di ambang disintregasi. Untuk bangkit dari itu semua, salah satu jalannya adalah perbaikan pendidikan dan sistem informasinya.

Di dalam upaya itu, pertama-tama harus ditetapkan secara jelas dan tegas sosok kepribadian yang dituju sebagai hasilnya. Tujuannya adalah terwujudnya kepribadian berbudaya yang kreatif. Di sini tidak hanya berupaya mengajarkan budaya, namun menanamkan kesadaran ber-Kebudayaan Nusantara. Berbudaya berarti memiliki sifat-sifat mulia yang diberikan kepada makhluk yang diberkahi Tuhan (Allah) dengan kecerdasan yang tajam dan qalbu yang halus, yang diberi kepercayaan oleh-Nya sebagai ‘khalifah’ di muka bumi. Ia adalah pribadi yang memiliki kepekaan religius-spiritual, moral dan estetik. Kreatif berarti pandai menemukan jawaban yang tepat dari tantangan-tantangan yang datang baik dari waktu (sejarah) maupun dari ruang (geografi). Perubahan-perubahan yang cepat dan datang bertubi-tubi hanya dapat dijawab oleh mereka yang kreatif, dengan tidak kehilangan perspektif kebudayaannya sendiri.

Jelas, untuk ‘menciptakan’ kepribadian berbudaya dan kreatif itu diperlukan perangkat pendidikan dan sistem informasi yang memadai, disertai peran serta golongan-golongan masyarakat serta masyarakat itu sendiri dan pemerintahnya. Kesemuanya itu sangat diperlukan akan kerjasamanya.

Pendidikan di sini menyangkut tentang pendidikan untuk menanamkan kesadaran berbudaya. Selama ini di Indonesia kurang akan kajian budayanya sendiri, yaitu Kebudayaan Nusantara yang nota bene merupakan akar budaya dan jatidiri bangsa Indonesia. Dengan berbekal semua itu, sudah saatnya menutup ‘lubang-lubang’ yang membuat Kebudayaan Nusantara menguap dan terkikis tanpa disadari oleh pemiliknya, yaitu dengan upaya meningkatkan kegiatan penelitian dan peng-‘informasi’-an Kebudayaan Nusantara yang sedang mengalami upaya marjinalisasi ini kepada seluruh masyarakat Indonesia, tujuannya adalah sebagai pengendali dalam proses interaksi dan interelasi dengan kebudayaan asing yang dalam banyak hal lebih patut untuk ‘disensor’.

Pada saat ini ditengarai bahwa kajian budaya mulai dikembangkan berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Tetapi studi kebudayaan di Indonesia masih belum memasuki tema-tema kebudayaan marjinal dan “hal-hal yang kecil-kecil”, termasuk kebudayaannya sendiri. Misalnya pada tahun 1998 Universitas Indonesia mendirikan kelas Kajian Budaya Inggris yang bekerjasama dengan Universitas Petra Surabaya yang juga memiliki kelas dalam Jurusan Sastra Inggrisnya, juga berdiri pada tahun yang sama. Kemudian tahun 2000 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta membuka program Pascasarjana Religi dan Budaya, lain lagi dengan Universitas Udayana Bali yang membuka Program Pascasarjana Kajian Budaya yang kajiannya lebih dekat pada antropologi dan kajian turisme. Ada juga Lembaga Studi Realino yang berdiri sejak awal ’90-an di Yogyakarta, penelitiannya dengan cara melihat kebudayaan dari perspektif ekonomi-politik yang titik tolaknya pada masalah-masalah lokal. Pada 1999, di yogyakarta berdiri juga KCSC (KUNCI Cultural Studies Center) dan menerbitkan newsletter, kertas kerja, publikasi di internet, dan bergabung dengan jaringan kerja kajian budaya di luar Indonesia (termasuk berasiliasi dengan Inter-Asia Cultural Studies Center). Di Jakarta, juga berdiri Desantara, Institute for Cultural Studies pada tahun 2001. Masih banyak varian kajian budaya lain yang bisa dikembangkan di Indonesia. Namun yang mendesak untuk dikerjakan adalah membangun kerjasama di antara berbagai kelompok yang juga menaruh perhatian pada kajian budaya, baik yang bergerak di dalam maupun di luar universitas. Dengan begitu orientasi kajian budaya yang mendesak dan bisa dikembangkan di Indonesia bisa dikerjakan bersama-sama.

Dalam jumpa pers di Kantor Paleontropologi UGM Yogyakarta, 13 Agustus 2001, Prof. Dr. Teuku Jacob (guru besar emiritus UGM) menyatakan bahwa, urusan kebudayaan harus ditangani oleh sebuah lembaga yang punya akses ke daerah dan ke pusat, entah itu departemen atau badan sejenisnya, karena itu menyangkut identitas dan harga diri bangsa. Jika hanya diurus oleh menteri negara, maka urusan pelestarian dan pengembangan kebudayaan di semua provinsi jadi terbengkalai. Selain beliau, mereka yang ikut berkomentar adalah Prof. Sjahfri Sairin PhD (Dekan Fak. Ilmu Budaya UGM), Prof. Dr. Sumiati MP (guru besar UGM), Laretna T. Adhisakti (aktivis Jogja Heritage Society), Drs. Sumaryono MA (dosen Institut Seni Indonesia Yogyakarta), Anggi Minarni (Direktur Pusat Kebudayaan Indonesia-Belanda), serta Drs. Tri Hatmadji (Kepala Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Tengah), mereka mengusulkan ada semacam badan pengelola kebudayaan secara nasional, yang mempunyai akses ke pemerintah dan seluruh daerah. Bukan sekadar menteri negara yang cuma berkutat di Sekretariat Negara tanpa mempunyai akses ke daerah (Kompas, 2001). Jadi, jika lembaga Pusat Riset dan Informasi Kebudayaan Nusantara ini memenuhi tuntutan seperti tersebut, maka dapat dipastikan mereka akan dengan senang hati mendukungnya.

Senada dengan hal tersebut Cahyono (2001), mengungkapkan perlunya kebijakan dengan skala prioritas untuk memajukan kegiatan konservasi dan preservasi beserta pemanfaatan sumber daya budaya. Maka dari itu dirintislah pendirian “Pusat Dokumentasi Kebudayaan Daerah (Pusdokda)”, yang menyimpan data dalam bentuk literal, visual, ataupun audio-visual, disamping kegiatan dalam bentuk penyuluhan, pameran, dan publikasi.

Untuk mewujudkannya diperlukan perencanaan program operasional yang matang dan baik, serta perencanaan dan perancangan wadah yang representatif, yang bisa mengakomodasikan visi dan misi yang diemban. Upaya tersebut dapat diwujudkan dengan adanya suatu lembaga, yaitu Pusat Riset dan Informasi Kebudayaan Nusantara. Dalam kelembagaan ini terdapat dua sifat kegiatan yang berbeda, yaitu merupakan Pusat Penelitian Kebudayaan dan juga merupakan Pusat Kebudayaan.

Dalam Pusat Penelitian Kebudayaan, aktifitasnya berhubungan dengan sesuatu yang sifatnya berupa data-data, yaitu data-data yang bisa diperoleh dari pengkajian Kebudayaan Nusantara. Mulai dari aspek-aspek utama kebudayaan, yaitu sistem ide, sistem sosial/perilaku, dan sistem fisik/wujud, hingga hal-hal yang lebih spesifik daripada unsur-unsurnya. Hal-hal yang merupakan unsur-unsur dari kebudayaan adalah : bahasa, organisasi sosial, sistem ekonomi, sistemteknologi, sistem pengetahuan, sistem religi, dan sistem kesenian. Pengkajian selanjutnya diarahkan pada adanya indikasi-indikasi perkembangan ataupun pergeseran-pergeseran baru yang terjadi dalam Kebudayaan Nusantara itu sendiri.

Sedangkan dalam Pusat Kebudayaan terdapat aktifitas-aktifitas yang sifatnya bermuatan pendidikan, bisa dalam bentuk literal, visual ataupun audio-visual. Literalnya bisa dengan media kertas sampai dengan media elektronik, ataupun media lain sesuai dengan perkembangan teknologi. Visualnya bisa dalam bentuk pameran, dan audio-visualnya bisa berupa exhibition yang sifatnya wisata budaya, yaitu mempertunjukkan produk-produk budaya dalam unsur kesenian. Medianya bisa dengan menggunakan media elektronik, atupun langsung. Unsur kesenian digunakan sebagai medianya, karena unsur tersebut dinilai sebagai media yang paling representatif untuk berkomunikasi. Hal ini senada dengan pernyataan Bandem (1998), bahwa kesenian disamping memiliki unsur-unsur estetika lokal, memiliki pula unsur-unsur estetika universal, berupa suatu nilai-nilai yang bisa dipahami oleh semua kelompok manusia di dunia. Hal ini memungkinkan kesenian itu dijadikan alat komunikasi yang andal antar masyarakat, antar bangsa dan negara. Telah diuji keandalannya, betapa unsur universal seni itu, terlepas dari lingkungan kelahirannya, mampu berbicara lintas budaya, dalam arti tidak terlepas dari geografis, bahkan bermakna secara lintas jaman.

Telah kita ketahui bahwa akar dari Kebudayaan Nusantara tidak lain adalah Kebudayaan Tradisional. Sedangkan dalam Kebudayaan Tradisional itu sendiri dikenal sangat kaya akan simbolisme-simbolisme, sehingga tidak semua orang dapat menangkap apa makna ataupun pesan-pesan dibalik simbol-simbol tersebut. Maka dari itu pengkajian Kebudayaan Nusantara secara mendalam sampai pada hal yang esensial dirasa sangat perlu.

Pusat Riset dan Informasi Kebudayaan Nusantara merupakan pusat komunikasi masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan misi dan visinya. Pertama, menumbuhkan sikap saling mengenal antar suku bangsa, dalam upaya membangun persatuan dan kesatuan dalam ke-bhineka-an. Kedua, memupuk kembali ‘pengenalan’ masyarakat Indonesia terhadap jatidirinya sebagai bangsa Indonesia yang berbudaya, dengan konteks kesukubangsaan dalam kebangsaan (kenasionalan). Ketiga, membangun etika-moral masyarakat Indonesia dengan belajar dan memahami konsepsi nilai-nilai luhur yang terkandung dalam Kebudayaan Nusantara. Keempat, memelihara dan melestarikan Kebudayaan Nusantara, dimulai dari Kebudayaan Tradisional yang berlatar belakang suku bangsa masing-masing, ataupun letak geografisnya. Kelima, sebagai pengendali dalam mengatasi pengaruh-pengaruh buruk yang dapat ditimbulkan dari proses interaksinya dengan kebudayaan asing, ataupun proses perkembangannya sendiri.